Minggu, 21 Oktober 2007

Pendidikan Tinggi dan akses Teknologi Informasi

Membahas pendidikan di Indonesia memang tiada habisnya. Dengan menduduki peringkat 10 terbawah di dunia dalam indeks pengembangan sumber daya manusia (Human resources development index), sudah sepatutnya bangsa ini mulai berbenah dan menyusun kembali arah dan kebijakan pendidikan, jika tidak ingin semakin terseok mengikuti arus perubahan jaman dan globalisasi.

Akses Informasi di Perguruan Tinggi
Sistem pendidikan di Indonesia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu sistem pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi, yang mengemban tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, updating terhadap perkembangan ilmu dan teknologi adalah menjadi satu hal yang mutlak.
Bagaimana negara ini bisa unggul dalam hal iptek jika buku wajib kuliah (handbook atau textbook) di banyak perguruan tinggi (lebih dari 50%) adalah terbitan tahun 1970-an, artinya 30 tahun mundur ke belakang dibandingkan dengan negara lain. Apa yang bisa diharapkan dari penelitian baik di level S1, S2, maupun S3 di Indonesia, dimana akses terhadap jurnal ilmiah internasioanl mendekati angka 0%, yang berarti besar kemungkinan mahasiswa meneliti sesuatu yang mungkin sudah dilakukan oleh peneliti lain di belahan dunia yang lain berpuluh tahun yang lalu.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika pejabat yang berwenang diberikan gambaran kondisi akses teknologi informasi di perguruan tinggi, jawabannya....klise...butuh anggaran besar untuk mewujudkan kemudahan akses informasi di Indonesia. Butuh biaya besar (baca:harus cukup kaya dan maju) untuk menjadi negara pintar, dan untuk menjadi negara kaya/maju harus pintar. Jadi seperti lingkaran setan, telur atau ayam dulu?
Jika mengingat teori hierarki kebutuhan Maslow (Abraham Maslow, 1954), manusia akan memenuhi kebutuhannya yang paling dasar, mulai dari physilogical needs, safety needs, belonginess and love needs, self esteeem, cognitive, aesthetic, self actualization, self trascendence. Permasalahannya kembali pada, mana yang harus lebih diutamakan, kebutuhan hidup dasar...atau pendidikan...? Hal ini pula yang menyebabkan konsep Habibie dengan technoology centre nya tidak berjalan dengan semestinya karena berbagai alasan.
Kembali pada akses perguruan tinggi terhadap informasi, perguruan tinggi di Indonesia juga tidak menyediakan informasi yang cukup pada stake holder-nya (mahasiswa, kalangan industri, dan masyarakat). Dari banyak website perguruan tinggi, survey awal menunjukkan sekitar 25-30% adalah website abadi (yang tidak pernah diupdate). Pendaftaran mahasiswa secara online yang awalnya ditujukan untuk memudahkan mahasiswa dengan memanfaatkan teknologi informasi, ternyata justru menimbulkan banyak masalah, mulai dari akses yang tidak bisa dilakukan dari luar kampus (jadi apa gunanya online registration jika harus akses dari kampus?), hingga permasalahan kesalahan pengisian akibat sistem yang tidak user friendly.
Fasilitas akses terhadap informasi melalui komputer/internet juga memberikan gambaran yang sangat menyedihkan. Beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia (misal ITB dengan bantuan AI3 Jepang), memungkinkan mahasiswa dan civitas akademika di dalamnya untuk mengakses informasi 24 jam. Bagaimana dengan perguruan tinggi yang lain? Beberapa pengamatan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta di pulau Jawa tidak memberikan hasil yang menggembirakan, karena akses internet mahasiswa tidak lebih dari kepentingan di laboratorium komputer yang pemakaiannya bisa dihitung dengan 1 digit jam aksesnya per mahasiswa. Jangan dibayangkan kondisi akses informasi di perguruan tinggi di luar jawa secara umum!
Bagaimana mau membentuk masyarakat teknologi informasi (information technology society), jika perguruan tinggi sebagai pilar utama tidak memberikan stimulus yang dibutuhkan. Gagasan akan masayarakat melek internet (sebagaimana iklan salah satu penyedia layanan internet di televisi) hanya akan menjadi suatu euforia yang entah akan sampai kapan.

Bercermin pada negara maju
Hampir semua negara maju, masyarakatnya memiliki akses yang luar biasa terhadap informasi. Sebagai contoh, akses internet 24 jam sudah dinikmati oleh warga Eropa (termasuk Belanda) mulai dari kalangan perguruan tinggi hingga petani dan peternak. Distribusi hasil pertanian dan peternakan sangat terbantu dengan adanya fasilitas ini.

Good will
Mungkin terdengar klise jika dikatakan bahwa langkah awal menyelesaikan carut marut di atas adalah good will dari semua pihak yang berkepentingan. Berita bagusnya adalah banyak pihak yang mulai menyadari pentingnya teknologi informasi dan aksesnya, misalnya Depkominfo (2007) memberikan beasiswa ke luar negeri kepada khalayak umum dalam rangka membentuk information tecnology society. Namun selama solusi yang ditempuh masih bersifat parsial dan berjalan sendiri-sendiri, hasil optimal akan relatif sulit didapatkan. Pemerintah dan perguruan tinggi, tidak perlu malu untuk menggandeng provider/penyedia jasa layanan internet untuk masuk kampus. Tidak hanya ABRI yang masuk desa, kalau mau internet masuk desa,...akses informasi dari dan ke perguruan tinggi yang juga harus dibenahi terlebih dahulu.

Tidak ada komentar: