Minggu, 28 Oktober 2007

a baby or a dog

satu lagi tentang belanda....
mungkin judul yang menimbulkan pertanyaan...ketika seseorang harus memilih 2 hal yang tidak bisa dibandingkan....bayi atau anjing...
namun ini menjadi permasalahan umum yang terjadi di negara maju...lingkaran setan kalau mereka bilang (bukan hanya Indonesia yang punya lingkara setan ternyata...he...he..)
dengan value/nilai yang sangat ekstrim mengenai kehadiran dan arti seorang anak dalam kehidupan masyarakat barat (western) pada umumnya, umumnya pasangan di negara barat tidak menginginkan anak dalam hidupnya.
anak dipandang sebagai suatu beban, menguras tenaga dalam mengasuh dan membesarkan, membutuhkan banyak biaya dalam mencukupi kebutuhan sehari2nya. setelah seorang anak berusia 17/18tahun, si anak harus keluar dari rumah orang tuanya, belajar hidup mandiri..dan biasanya hubungan orangtua dan anak akan berakhir dengan sendirinya pada saat si anak menemukan pasangan hidupnya (entah dalam bentuk pernikahan atau hanya sammen lieven).
ketika orang tua beranjak senja (namanya juga orang tua), tidak ada kewajiban anak untuk menjaga orang tua...
bertolak belakang dengan arti anak dalam dunia timur, termasuk Indonesia. Anak adalah belahan jiwa, pengobat luka, penerus keluarga, penjaga nama baik orang tua, kebanggaan orang tua, diharapkan menemani dan menjaga orang tua di penghujung senja....
dengan persepsi yang sangat berbeda mengenai ''anak'', pilihan akhirnya jatuh pada binatang piaraan, biasanya anjing, dimana anjing dinilai lebih layak untuk diperlihara, lebih dijamin kesetiaanya..dll...
jadi....a baby or a dog....
tidak heran bila di suatu sore....banyak dijumpai pasangan di belanda berjalan-jalan di taman dengan ditemani....anjing...bukan bayi/anak....hmm......

Kamis, 25 Oktober 2007

Prostitusi legal di Belanda

Negara maju seperti Belanda ternyata melegalkan bisnis prostitusi....hm......
Groningen juga memiliki kawasan prostitusi legal di pusat kota (centrum) tepatnya di daerah red light, ada penjagaan polisi pula. Berbeda dengan umumya di Indonesia, para penjaja kemolekan di Belanda ''memajang" diri dalam etalase..mirip etalase toko tempat memajang mannequin, hanya saja ukuran "etalase orang" ini sangat minim..1x1x2 m3...terlihat sangat tidak manusiawi...
terlepas dari semua hal tersebut...yang sedikit mengherankan adalah bahwa di negara penganut seks bebas seperti ini...dimana tidak lagi diperlukan lembaga pernikahan untuk melegalkan hubungan intim, ternyata masih dirasa perlu adanya prostitusi..dimana hubungan seksual bukan lagi berdasarkan ''sama sama suka" tapi lebih pada "transaksi euro" semata.

Minggu, 21 Oktober 2007

Pendidikan Tinggi dan akses Teknologi Informasi

Membahas pendidikan di Indonesia memang tiada habisnya. Dengan menduduki peringkat 10 terbawah di dunia dalam indeks pengembangan sumber daya manusia (Human resources development index), sudah sepatutnya bangsa ini mulai berbenah dan menyusun kembali arah dan kebijakan pendidikan, jika tidak ingin semakin terseok mengikuti arus perubahan jaman dan globalisasi.

Akses Informasi di Perguruan Tinggi
Sistem pendidikan di Indonesia dibagi menjadi 3 tahap, yaitu sistem pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi, yang mengemban tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, updating terhadap perkembangan ilmu dan teknologi adalah menjadi satu hal yang mutlak.
Bagaimana negara ini bisa unggul dalam hal iptek jika buku wajib kuliah (handbook atau textbook) di banyak perguruan tinggi (lebih dari 50%) adalah terbitan tahun 1970-an, artinya 30 tahun mundur ke belakang dibandingkan dengan negara lain. Apa yang bisa diharapkan dari penelitian baik di level S1, S2, maupun S3 di Indonesia, dimana akses terhadap jurnal ilmiah internasioanl mendekati angka 0%, yang berarti besar kemungkinan mahasiswa meneliti sesuatu yang mungkin sudah dilakukan oleh peneliti lain di belahan dunia yang lain berpuluh tahun yang lalu.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika pejabat yang berwenang diberikan gambaran kondisi akses teknologi informasi di perguruan tinggi, jawabannya....klise...butuh anggaran besar untuk mewujudkan kemudahan akses informasi di Indonesia. Butuh biaya besar (baca:harus cukup kaya dan maju) untuk menjadi negara pintar, dan untuk menjadi negara kaya/maju harus pintar. Jadi seperti lingkaran setan, telur atau ayam dulu?
Jika mengingat teori hierarki kebutuhan Maslow (Abraham Maslow, 1954), manusia akan memenuhi kebutuhannya yang paling dasar, mulai dari physilogical needs, safety needs, belonginess and love needs, self esteeem, cognitive, aesthetic, self actualization, self trascendence. Permasalahannya kembali pada, mana yang harus lebih diutamakan, kebutuhan hidup dasar...atau pendidikan...? Hal ini pula yang menyebabkan konsep Habibie dengan technoology centre nya tidak berjalan dengan semestinya karena berbagai alasan.
Kembali pada akses perguruan tinggi terhadap informasi, perguruan tinggi di Indonesia juga tidak menyediakan informasi yang cukup pada stake holder-nya (mahasiswa, kalangan industri, dan masyarakat). Dari banyak website perguruan tinggi, survey awal menunjukkan sekitar 25-30% adalah website abadi (yang tidak pernah diupdate). Pendaftaran mahasiswa secara online yang awalnya ditujukan untuk memudahkan mahasiswa dengan memanfaatkan teknologi informasi, ternyata justru menimbulkan banyak masalah, mulai dari akses yang tidak bisa dilakukan dari luar kampus (jadi apa gunanya online registration jika harus akses dari kampus?), hingga permasalahan kesalahan pengisian akibat sistem yang tidak user friendly.
Fasilitas akses terhadap informasi melalui komputer/internet juga memberikan gambaran yang sangat menyedihkan. Beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia (misal ITB dengan bantuan AI3 Jepang), memungkinkan mahasiswa dan civitas akademika di dalamnya untuk mengakses informasi 24 jam. Bagaimana dengan perguruan tinggi yang lain? Beberapa pengamatan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta di pulau Jawa tidak memberikan hasil yang menggembirakan, karena akses internet mahasiswa tidak lebih dari kepentingan di laboratorium komputer yang pemakaiannya bisa dihitung dengan 1 digit jam aksesnya per mahasiswa. Jangan dibayangkan kondisi akses informasi di perguruan tinggi di luar jawa secara umum!
Bagaimana mau membentuk masyarakat teknologi informasi (information technology society), jika perguruan tinggi sebagai pilar utama tidak memberikan stimulus yang dibutuhkan. Gagasan akan masayarakat melek internet (sebagaimana iklan salah satu penyedia layanan internet di televisi) hanya akan menjadi suatu euforia yang entah akan sampai kapan.

Bercermin pada negara maju
Hampir semua negara maju, masyarakatnya memiliki akses yang luar biasa terhadap informasi. Sebagai contoh, akses internet 24 jam sudah dinikmati oleh warga Eropa (termasuk Belanda) mulai dari kalangan perguruan tinggi hingga petani dan peternak. Distribusi hasil pertanian dan peternakan sangat terbantu dengan adanya fasilitas ini.

Good will
Mungkin terdengar klise jika dikatakan bahwa langkah awal menyelesaikan carut marut di atas adalah good will dari semua pihak yang berkepentingan. Berita bagusnya adalah banyak pihak yang mulai menyadari pentingnya teknologi informasi dan aksesnya, misalnya Depkominfo (2007) memberikan beasiswa ke luar negeri kepada khalayak umum dalam rangka membentuk information tecnology society. Namun selama solusi yang ditempuh masih bersifat parsial dan berjalan sendiri-sendiri, hasil optimal akan relatif sulit didapatkan. Pemerintah dan perguruan tinggi, tidak perlu malu untuk menggandeng provider/penyedia jasa layanan internet untuk masuk kampus. Tidak hanya ABRI yang masuk desa, kalau mau internet masuk desa,...akses informasi dari dan ke perguruan tinggi yang juga harus dibenahi terlebih dahulu.

Memaknai ramadhan dan idul fitri di Belanda

Islam di Belanda
Komunitas Muslim di negara Belanda menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, dengan sekitar 6% dari total penduduk Belanda merupakan warga muslim (www.minbuza.nl akses 14 Okt 07). Dengan dominasi Turki, Maroko, disusul dengan Indonesia (baik yang berstatus pelajar, tugas diplomatik, maupun yang telah menjadi warga negara Belanda karena telah bermukim lama atau menikah dengan warga negara Belanda), peningkatan jumlah warga muslim di Belanda juga dipengaruhi oleh banyaknya mualaf dari warga asli Belanda sendiri. Bahkan seringkali dijumpai, para mualaf ini lebih baik dalam menjalankan syariat Islam atau “lebih Islami” dari muslim yang menyandang muslim sejak lahir.
Fenomena ini ditandai dengan berbagai perkembangan yang cukup menggembirakan. Di kalangan akademis, Leiden University telah mempelopori penyediaan menu halal di kantin universitas untuk mengakomodasi jumlah mahasiswa muslim yang semakin banyak. Hal ini tampaknya akan diikuti oleh sejumlah universitas lain di Belanda, termasuk usulan serupa yang sedang dibahas di Rijk Universiteit of Groningen (RUG).
Pelaksanaan sholat idul fitri di masjid Al Hikmah, Den Haag pada tanggal 12 Oktober 2007,yang harus dilaksanakan 2 kali(2 kloter) karena keterbatasan tempat di masjid dan membudaknya jamaah ied, memberikan gambaran tersendiri akan komunitas muslim yang semakin bertambah.
Ketertarikan warga Belanda terhadap Islam juga ditunjukkan dengan diskusi baik yang bersifat formal maupun informal, pemahaman mereka akan kewajiban dalam Islam, dan penghormatan mereka terhadap syariat Islam.
Dengan 73% penduduk terkoneksi dengan internet, informasi dan pengajian secara online menjadi satu keniscayaan dan telah banyak dilakukan di kota-kota di Belanda. Bahkan di Groningen, terdapat radio Minara yang merelay siaran radio Indonesia yang bermuatan Islami.

Ramadhan dan Idul Fitri
Menjalani ramadhan di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim juga bukan hal yang mudah. Di luar ramadhan, dari awal komunitas muslim harus membiasakan diri sholat di tempat seadanya karena keterbatasan jumlah masjid dan tempat sholat di ruang umum. Kumandang adzan juga tidak diperbolehkan karena dinilai mengganggu ketentraman umum. Kalau di tanah air, yang tidak berpuasa menghormati yang berpuasa dengan tidak makan atau minum di sembarang tempat, di Belanda justru sebaliknya. Ramadhan menjadi semakin berkualitas dengan banyaknya ”godaan” saat berpuasa, lalu lalang orang dengan makanan dan minuman di sepanjang hari, tidak ada pula ‘’kesibukan” persiapan kolak atau ta’jil.
Menjelang Idul Fitri, kewajiban zakat fitrah bervariasi besarnya (antara 5-8 Euro, tergantung besarnya biaya hidup di masing-masing kota di Belanda). Karena agak susah untuk mencari mustahiq (orang yang patut diberikan zakat) di negara kaya seperti Belanda, zakat fitrah biasanya disalurkan ke Indonesia.
Saat Idul Fitri juga menjadi momen istimewa. Di saat takbir hanya bisa dikumandangkan dari winamp laptop di kamar. Bahkan banyak mahasiswa yang terpaksa tidak bisa menjalankan sholat ied karena harus mengikuti kuliah bahkan ujian pada saat yang bersamaan. Sehingga muncul wacana di banyak universitas di Belanda untuk meminta dispensasi hari idul fitri sebagai hari libur. Sedikit permasalahan muncul karena hari idul fitri mengikuti kalender Hijriah yang berbeda dengan sistem kalender Masehi yang dipakai oleh umumnya negara di dunia, dimana hari Idul Fitri akan bergeser dari tahun ke tahun. Hal ini akan menyulitkan universitas yang harus membuat jadwal/kalender akademik di awal tahun ajaran atau satu tahun sebelum Idul Fitri dilaksanakan. Akan tetapi, mestinya hal ini bisa dibicarakan bersama dengan pihak universitas, karena di negara penjunjung demokrasi ini, segala masalah bisa dicari penyelesaiaannya. Bahkan secara parsial dan individual, banyak lecturer (dosen) atau supervisor (pembimbing tesis atau disertasi) yang memahami idul fitri dan memberikan kelonggaran kepada mahasiswa muslim di hari idul Fitri.
Pelaksanaan sholat Ied di Belanda, biasanya dilaksanakan di masjid Turki atau Maroko. Dengan banyaknya warga negara Indonesia di Belanda, menjadi satu hal yang agak ironis juga ketika tidak ada masjid Indonesia di Belanda terutama dengan terbatasnya jumlah masjid di Belanda. Setelah sholat Idul Fitri, warga Indonesia yang melaksanakan sholat Idul Fitri di masjig Al Hikmah Den Haag biasanya akan melanjutkan acara halal bihalal dan silaturahmi di kediaman Duta Besar RI untuk Belanda di daerah Wassenar. Acara ini sekaligus sebagai acara open house bagi warga Indonesia di Belanda , bahkan warga Indonesia yang ada di Jerman dan negara di sekitar Belanda juga menyempatkan diri hadir. Dengan hidangan lontong opor, disantap bersama dalam suasana kekeluargaan oleh semua yang hadir dari seluruh penjuru Belanda, menjadi pengobat rindu buat yang jauh dari tanah air. Muslim dan nonmuslim berbaur, saling memaafkan.
Kebersamaan memang baru akan terasa ketika seseorang jauh dari lingkungan asalnya. Dan yang pasti, ramadhan dan idul fitri di Belanda tetap menjadi momen yang indah meskipun jauh dari orang-orang terkasih.

Kamis, 04 Oktober 2007

hammer and nail

menemukan satu kata mutiara yang patut untuk direnungkan di penghujung malam...

if hammer is the only thing you have, you will see all problems as nails
(Abraham Maslow)

jadi....silahkan simpulkan sendiri...

Rabu, 03 Oktober 2007